Selasa, 31 Maret 2009

Obat tidurnya Ippa

Sebenarnya hari ini aku berangkat ke kampus dengan tekat yang kuat. Aku harus menghapus zaman kejahilian statistikku! Sungguh sulit kupercaya, otakku yang sangat cemerlang ini sama sekali tidak memahami satupun materi dari kulih statistikku di semester dua ini. Ippa pintar!!!

Tapi apa daya, godaan tak dapat kutolak. Statistik 3 sks yang sangat membosankan ini justru membuatku mengantuk hingga harus merelakan kepalaku tersungkur di bangku kuliah. Ya ampun.. aku yang imsonia ini, yang tidak bisa tertidur sebelum jam satu malam dan terbangun sebelum shubuh, ternyata dapat tertidur dengan mudah di kelas statistik. Kurasa aku tahu obat mujarab yang dapat membuatku cepat tidur sebentar malam. Aku harus belajar statistik! Hehehe..Ippa benar-benar cerdas!!

Airnya Mata

Apa yang akan kau lakukan jika sedang tersudut? Jika kau telah begitu lemah dan tak tahu lagi cara mempertahankan diri? Jika kau tanyakan padaku, maka jawabanku adalah “mengeluarkan senjata terakhir”

Itu yang terjadi padaku pada 23 Maret lalu. Ketika hatiku benar-benar sedang tersudut. Ketika aku tidak menemukan cara untuk mempertahankan diriku dari rasa sepi. Maka aku pun mengeluarkannya. Mengeluarkan senjata terakhirku. Senjata yang selalu mampu memberikanku ketenangan di detik-detik terakhir. Senjata itu “air mata”

Sepi memang menjadi teman setiaku belakangan ini. Sepi yang hanya ada di salah satu sudut kecil di hatiku, yang menyapaku tiap kali aku terdiam menarik nafas. Saat-saat seperti itu, aku benar-benar merasa terbuang.

Kulakukan segala cara untuk berkompromi dengan sepi itu. Kuajak dia memasuki dunia bacaanku, tempat pelarian teramanku. Kuharap dengan begitu ia mau memusuhiku. Mau berhenti bertamu ke hatiku.

Berhati-hari aku mencobanya, tetapi aku gagal! Sepi itu masih ada, ia begitu setia ternyata.

Maka menangislah aku. Menangisi kesetian sang sepi pada diriku…

Saat itu aku bisa melihat diriku bertahun-tahun lalu. Diriku yang juga mebiarkan air terjatuh dari mataku. Diriku yang masih kanak-kanak. Aku yang selalu menangis jika tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku yang mulai menangis jika mulai merasa tidak diperhatikan oleh bapak dan mama. Aku yang menangis ketika dimarahi oleh bapak dan mama. Aku yang menangis ketika terjatuh. Aku yang menangis ketika dimusuhi oleh salah seorang teman. Aku yang menangis ketika kehilangan barang. Aku akan terus menangis sampai Bapak datang dan membujukku untuk berhenti.

Entah mengapa aku yang masih kanak-kanak memilki begitu banyak alasan untuk menangis. Dan Sekarang, aku yang tidak lagi bisa disebut kanak-kanak ini menangis lagi.

Ippa, apa yang kau tangisi?

Apa ada yang ingin kau miliki namun tak dapat kau gapai? Apa kau sedang merasa tidak dipedulikan? Apa ada yang sedang memarahimu? Apa kau habis terjatuh? Apa ada yang sedang memusuhimu? Apa ada yang hilang dari genggamanmu?

Sudah lah, kau bukan anak TK lagi kan? Hapus air matamu! Karena kali ini tidak akan ada yang datang dan membujukmu untuk berhenti menangis.

Senin, 30 Maret 2009

Situ Gintung

Kuliah tidak begitu membosankan hari ini. Kuliahku yang harusnya empat sks dipersingkat menjadi dua sks. Dosennya lagi sibuk mengurus seminar.
Berniat memanfaatkan waktu, maka berjalan lah aku ke belakang gedung fakultas kedokteran, di belakang laboratorium anatomi mereka. Dari tempat itu, kita bisa melihat situ gintung. Situ gintung yang tiba-tiba kering tanpa air.
Aku dan teman-teman hanya duduk di sana, di bangku tempat kami biasa duduk sambil melihat pemandangan siru gintung yang dipenuhi air. Kami masih di tempat yang sama, masih melihat situ gintung yang sama, tapi kali ini tak ada air di sana.
Air itu telah pergi,,
Air yang biasanya kami pandangi untuk menghilangkan kepenatan kami sehabis kuliah. Ia pergi membawa banyak mimpi. Mimpi-mimpi mereka yang ikut terhanyut...
Rabby,,
Begitu mudah kau mengubah anugrahMu menjadi bencana.
Untuk mengingatkan kami yang mengakui diri sebagai hambaMu namun sering lalai akan perintahMu dan mendekati laranganMu.

Minggu, 29 Maret 2009

Be my friend

Sebenarnya, seperti apa teman itu?"

Pertanyaan ini, dulu_dulu sekali_ begitu sering meminta perhatianku. Ketika aku duduk dan tertawa bersama mereka yang kusebut teman, ketika kami mulai bertengkar kecil, bahkan ketika aku pulang ke dalam kesendirianku tanpa mereka, maka pertanyaan ini akan meminta perhatianku.

Aku menyebut mereka sebagai teman. Tapi sebenarnya seperti apa teman itu?

Ketika kami mulai begitu akrab, ketika aku bisa menyebut mereka sebagai saudara, ketika aku berani mengatakan bahwa aku mungkin tak bisa melakukan apapun tanpa mereka, maka lagi-lagi sebuah pertanyaan akan meminta perhatianku.

" benarkah mereka ingin menjadi temanku?"

Bukankan aku tidak pernah menanyakan ini pada mereka? Kami hanya dipertemukan oleh waktu dan ruang yang sama, sesuatu yang membuat kami menjadi saling berhubungan, saling berbagi. Tapi benarkah mereka ingin menjadi temanku? Benarkah mereka yang memilih menjadi temanku dan bukan karena kondisi yang memilih mereka? Bagaimana jika tiba-tiba kami tak berlari pada waktu dan ruang yang sama? Bagaimana jika tiba-tiba kami tidak saling membutuhkan lagi hingga tak perlu berbagi apapun? Masih kah mereka menyebutku teman?

Bukankah sebagian dari mereka seperti itu? Mereka yang kusebut teman, yang perlahan mulai hilang dari kehidupanku. Mereka yang terampas oleh waktu karena kami tidak lagi berkutat pada ruang yang sama. Karena dewasa memutuskan untuk memisahkan kita yang tak tahu lagi harus berbagi apa.

Karena itu, aku menanyakan padamu di awal perkenalan kita, " Would you be my friend?" Sekedar untuk meyakinkan ku bahwa aku memiliki seorang teman yang benar-benar kuyakini ingin menjadi temanku. Dan "iya" mu cukup untuk membuatku berkata "aku tidak sendirian"

Kamis, 26 Maret 2009

Sudut Favoritnya Ippa

Beberapa hari ini aku memiliki tempat favorit di salah satu sudut kamarku di asrama. Tempatnya tepat di bawah jendela. Jika aku sedang berada di kamar maka dapat dipastikan bahwa aku menempel di sana. Wilayah itu menjadi daerah kekuasaanku, meskipun sebenarnya kamarku di asrama dihuni oleh empat orang mahasiswi.

Jangan Tanya mengapa aku begitu suka pada salah satu sudut di kamarku itu! Sebab aku sendiri tidak tahu jawaban pastinya. Aku hanya merasa nyaman berada di sana sambil membiarkan detik berlalu melewatiku. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk di sana. Duduk menyandar di bawah jendela sambil membaca, mengerjakan tugas kuliah yang entah mengapa mulai membuatku merasa terbebani, bahkan tidak jarang aku justru tertidur di sana. Yang terakhir ini sering diprotes oleh teman kamarku. Padahal selama ini mereka adem anyem saja dengan apapun yang kulakukan di kamar.

MudaH dimengerti mengapa akhirnya mereka protes. Kebiasaan baruku tertidur di lantai tanpa alas apapun jelas bukan kebiasaan baik. Terutama jika mengingat bahwa paru-paruku sempat bermasalah saat aku masih duduk di bangku SMA. Aku bisa membayangkan bagaimana marahnya mama dan bapakku jika mereka tahu bahwa belakangan ini aku sering tertidur di lantai. Bisa-bisa aku digiring pulang ke Makassar!

Tetapi itu lah aku, aku yang memang suka mencari gara-gara dengan apapun kelemahanku. Aku yang memang susah diberitahu meskipun fitri (teman kamarku) tampaknya sudah bosan mengingatkanku.

Akhirnya saat di mana aku harus bertobat datang juga. Ini terjadi pada suatu siang di hari Jumat. Lagi-lagi aku kembali tertidur di sudut favoritku itu. Tertidur di lantai ketika sedang membaca sebuah buku yang lebih pantas kujadikan bantal saking tebalnya. Aku tiba-tiba saja terbangun karena merasakan gatal dan perih di kelopak mataku.

Seekor semut telah nekat menggigit kelopak mataku. Aku segera bangkit dan berdiri di depan cermin. Manyun, hanya itu yang dapat kuperbuat ketika melihat tampang bangun tidurku yang disertai dengan bengkak di kelopak mata. Sebuah jejak manis yang ditinggalkan sang semut untukku.

Fitri yang kebetulan sedang berada di kamar cukup terhibur melihat pemandangan mataku yang seperti orang bintitan. Ia yang selama ini mengingatkanku untuk berhenti melancarkan aksi tertidur di lantai. Sekarang tamat lah aku ketika seekor semut berhasil membuatku berfikir seribu kali untuk mengulang kebiasaan buruk ini.

Saat itu juga kulirik tempat tidurku yang empuk. Yang belakangan ini tampak rapi karena seluruh aktifitasku berpindah ke sudut favorit. Tempat tidurku yang belakangan ini sepi dari tumpukan buku Karena buku-buku itu sedang hijrah ke lantai kamar.

Sepertinya aku harus segera kembali ke habitat asliku!

Senin, 15 Desember 2008

Aku Yang Munafik

Lo tuh munafik!”

Seorang teman mengatakan hal ini kepadaku pagi tadi. Munafik. Ia menganggap aku seperti itu. Lalu marahkah aku, tersinggungkah diriku? Tidak juga, bahkan mungkin sama-sekali tadi. Aku kaget. Tentu saja. Bagaimana mungkin orang yang baru kukenal hampir empat bulan, berani mengataiku munafik? Tapi tak ada marah yang terselip di sana. Kurasa setan tak berhasil mendekatiku hari ini. Jika ada makhluk yang patut kujadikan sebagai kambing hitam jika aku berbuat keburukan__ termaksud marah__ maka dia lah makhluk itu.

Awalnya aku yang tak suka dipersalahkan ini ingin mengelak, mana ada orang yang terima dicap munafik? Setidaknya mayoritas manusia tak akan diam saja jika dicap seperti itu. Namun akhirnya kuurungkan. Mengapa? Karena dengan segala kesadaranku aku tahu, aku sering memilih menjadi “munafik”.

Seperti yang pernah diajarkan oleh guruku dulu, salah satu ciri orang-orang munafik adalah khianat. Sekali lagi. Dengan segala kesadaranku aku tahu, aku kadang memilih menjadi khianat. Parahnya, aku memilih melakukan hal tercela ini pada diriku sendiri. Seberapa sering hatiku melarang melakukan kebatilan, tapi otakku mengkhianatinya? Memilih untuk melakukan dengan berbagai pertimbangan yang menguntungkan. Seberapa sering aku bersikap mencintai sesuatu yang sebenarnya sangat dibenci oleh hatiku? Seberapa sering kepalaku mengangguk ketika hatiku menggeleng? Seberapa sering hatiku berucap lirih rindu pada-Nya, tapi langkahku justru menjauhi-Nya perlahan dan bukan berlari mendekati-Nya? Bolehkah aku menyebut ini sebagai pengkhianatan?

” Lo tau Lo bisa, Lo pengen, tapi lo gak mau ngambil resiko. Lo terikat dalam lingkaran aman dan lo gak berani keluar dari sana”

Aman. Bukankah menurut Abraham Maslow rasa aman ada pada tingkat kedua pada lima hirearki kebutuhan manusia? Aku masih manusia bukan? Apa ini jawaban mengapa aku cenderung tak ingin mengambil resiko? Terbuktikah pemikiran bapak humanisme ini pada diriku? Salahkah aku yang menyukai hangatnya selimut “aman”? Aman. Inikah yang membuatku sering kali memilih menjadi munafik?